Jumat, 18 Maret 2011

Buletin Suara Tarbiyah

Hmmm…. Berbicara mengenai inspirasi menulis, setiap orang mempunyai jalannya sendiri-sendiri. Ada yang melalui training atau seminar motivasi kepenulisan, ada dari temannya yang suka menulis, ada juga karena hobinya menuliskan diary hariannya yang tanpa sadar ia pun bisa menulis. Entah dengan ceritanya ataupun gaya bahasanya dalam diary tersebut.

Awalnya, Ingin Menjadi Seorang Penyiar radio
Bagi saya, hobi menulis itu adalah hobi yang tidak sengaja dan tidak terlalu diniatkan sebelumnya. Waktu SMP dan SMA, saya hobi mendengarkan radio MQFM Bandung. Karena radio tersebut bisa menambah wawasan saya mengenai ilmu-ilmu agama sekaligus ilmu-ilmu umum. Terlebih setiap harinya, siang dan malam ada acara salam-salam pendengar dan request nasyid-nasyid kesukaan saya. Sampai-sampai suatu pagi, saya melihat ujung kabel power supply radio di kamar hangus saking panasnya karena sepanjang hari tidak dicabut-sabut dari sumber lisrik. :)
Hobi menjadi pendengar setia radio MQFM tersebut menjadikan saya bercita-cita ingin menjadi penyiar radio. Menginjak kelas X (satu SMA), MQFM mengadakan event “Reporter Kampus.” Kegiatan itu adalah pelatihan reporter radio kepada siswa SMA dan Mahasiswa. Ini adalah kesempatan saya untuk awal menjadi penyiar di radio yang saya sukai ini. Alhamdulillah, acara ini gratis. Pada pertemuan pertama, saya dan siswa SMA atau mahasiswa lainnya mengikuti pelatihan klasikal sehari penuh. Meliputi tentang tehnik pencarian berita, tehnik wawancara sampai tehnik melaporkan berita dari lapangan untuk diudarakan (disiarkan). Keesokan harinya, kami (peserta pelatihan) diuji secara langsung mengenai tehnik reportasi. Namun sayang, saya gagal dan tidak bisa mengikuti pertemuan berikutnya selama tiga bulan. :(
Tahun berikutnya, MQFM mengadakan Reporter Kampus II. Karena masih penasaran, saya pun kembali mengikutinya lagi. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa menjadi penyiar (atau minimal menjadi reporter) di radio MQFM, Bandung. Dan lagi-lagi saya gagal menjadi Reporter Kampus MQFM.. hikshiks.. Setelah saya merenung dan evaluasi diri, mungkin suara saya kurang pas untuk mengudara di kota Bandung dan sekitarnya. Lebih lanjut, saya berfikir menjadi penyiar MQFM bukan jalan takdir saya. Dan saya menerima dengan ikhlas kejadian itu. Cukuplah menjadi pendengar setianya saja.. :D

Awal Hobi Menulis
Ketika SMA saya aktif berorganisasi di DKM At-Tarbiyah, Rohisnya SMA Negeri 1 Baleendah. Di tengah semester genap kelas X, Pembina kami mengadakan beberapa kagiatan tambahan seperti pembentukan tim nasyid, kursus Bahasa Inggris dan pembelajaran tutor sebaya serta kejurnalistikan dalam bentuk buletin mingguan.
Untuk mengobati kekecewaan saya yang tidak jadi penyiar radio. Saya pun mengikuti kegiatan jurnalistik di media kertas itu. Perbedaannya, jika jurnalistik radio bermedia siaran udara; jika jurnalistik buletin cukup bermedia kertas saja, yang belakang saya tahu media cetak. Karena buletin itu baru pertama terbit, maka saya menjadi angkatan perintis penerbit buletin lokal sekolah saya ini. Oleh karena itu, rapat pertama yang kami adakan membahas tentang penamaan, visi, misi, slogan dan logo buletin itu. Hasilnya, terbentuklah nama “Buletin Suara Tarbiyah.”
Bahasan buletin ini meliputi kajian keagamaan, rublik wawancara dengan guru, sisipan kata-kata mutiara atau motivasi bahkan kolom “Terserah”, kolom dimana para pembaca bisa bersuara di buletin ini. Benar-benar mengasyikkan bisa menerbitkannya.
Proses awal pembuatannya cukup sederhana. Bermodalkan kemampuan menguasai corel draw saja, sudah bisa membuat buletin suara tarbiyah. Namun tetap, sang layouter butuh ketelitian tinggi dan waktu yang cukup lama untuk membuatnya. Bayangkan, untuk membuat satu edisi dari selembar kertas yang dibagi empat halaman bulak-balik itu membutuhkan waktu 5 sampai 6 jam pengerjaan. Mulai dari perancangan desain, penempatan kolom-kolom sampai perapihan dan finishing. Edisi pertama pun terbit, meskipun pencetakanya dalam bentuk fotocopy-an. Masih ingat, waktu itu mencetak 100 exemplar dengan biaya Rp 10.000,- dan langsung disebar ke tiap kelas.

Dakwah bil Qolam
Sungguh, itulah yang menjadi Ruh menulis saya sampai saat ini. Meskipun, sekarang agak bergeser gaya tulisan saya dari reportase ke bentuk cerpen non-fiksi, alias menuliskan pengalaman-pengalaman nyata saya yang sebagian diikutkan dalam event-event lomba di Facebook.
Dalam rentang waktu tiga bulan pertama, BST (red. Buletin Suara Tarbiyah) ini sudah menjadi hal yang selalu dinantikan terbit oleh pembaca setianya, siswa-siswa SMAN 1 Baleendah. Alhamdulillah, segenap Tim Redaksi merasa bahagia karena buletin dengan slogan “Media Dakwah SMAN 1 Baleendah” ini sudah berhasil memikat hati para pembacanya.
Di BST, semua anggota tim redaksi boleh mengisi kolom-kolom yang telah disediakan. Saya pun sudah beberapa kali menulis untuk kolom Menu Utama, Wawancara dan kumpulan kata-kata mutiara. Beberapa judul yang membuat saya ketawa. Salah satu isu yang diangkat saat itu adalah adanya golongan yang menunaikan shalat dengan dua bahasa, Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia atau Jawa. Saya mengangkat isu itu di BST dengan judul “Shalat Billingual”. Pernah juga, membahas tentang nasyid Indonesia yang juga sedang booming-boming-nya dan saya beri judul “Nasyid, ladang dakwah atau ladang mencari penghasilan?”
Karena sudah terbiasa menulis hal-hal seperti di atas, maka dari sana saya menguatkan tekad bahwa tulisan-tulisan yang saya ciptakan setidaknya bisa member ilmu baru bagi orang lain, khususnya tentang wawasan agama; memberikan inspirasi dan manfaat bagi para pembacanya.
Kegiatan menulis saya tidak berhenti sampai disana. Selapas lulus SMA pada tahun 2007, kakak kelas saya menawarkan untuk menjadi wartawan di majalah salah satu Lembaga Amil Zakat di kota Bandung, dengan berbekal latihan, pengalaman kepenulisan dan sedikit ilmu jurnalistik, saya pun diterima menjadi tim redaksi Majalah Zakat Infak Shadaqah dan Wakaf Percikan Iman (ZISWaf - PI), Bandung. Tugas pertama saya adalah melakukan wawancara dengan penerima bantuan modal usaha dari ZISWaf PI. Pengalaman pertama ke lapangan itu cukup membuat hati saya berdebar. Jika sewaktu SMA, saya mewawancarai guru-guru saya yang sebelumnya sudah dikenal, namun sekarang harus mewanacarai orang yang belum saya kenal sebelumnya. Dengan berbekal notebook, pulpen, recorder dan camera digital, saya pun akhirnya dapat menuliskan hasil wawancara tersebut yang isinya lebih banyak tentang harapan para penerima bantuan supaya modalnya bisa ditambah lagi. ZISWaf PI memberikan bantuan kepada 15 orang pedagang kecil di daerah itu. Karena sebelumnya mereka menerima pinjaman modal dari rentenir yang menyiksa mereka dengan bunga pengembalian modal yang berlipat-lipat.
Pada akhirnya, saya sudah terbiasa untuk wawancara atau mencari tahu kabar-kabar dari relasi ZISWaf PI. Dengan menjadi wartwan disana juga, saya yang orang kampung dapat mengetahui hampir semua daerah di Kota dan Kabupaten Bandung. Selain dalam kota, saya pun pernah ditugaskan untuk meliput kegiatan-kegiatan ZISWaf PI yang sekarang menjadi AMANY Percikan Iman di luar kota seperti Cianjur, Bandung Barat, dan Cimahi.
Selain itu, kebiasaan saya membawa camera digital membuat saya akhirnya juga bisa menjadi seorang fotographer amatir. Jadi tugasnya bertambah: wawancara, membuat berita tentang event-event, sekaligus bertugas sesbagai dokumentasi.
Alhamdulillah, pengalaman-pengalaman di atas membawakan saya pada pemahaman bahwa menulis itu adalah salah satau metode yang baik dalam hal mengajak orang pada kebaikan, media informasi yang efektif sekaligus bersifat “abadi” dan luas. Abadi disini artinya bisa diketahui orang kapanpun dan dimanapun. Bandingkan jika hanya sekedar berbicara diforum saja, maka orang-orang yang mengetahuinya hanya yang hadir saja. Tapi jika dituliskan, maka orang yang tidak hadir dalam forum pun akan mengetahuinya dengan membaca. Insya Allah..
Maka, untaian kalimat di bawah inilah yang menjadi penguat saya dalam menulis:
“Aku tidak melihat mata pisau yang lebih tajam melebihi goresan pena seorang penulis. Maka, perhatikanlah ke arah mana ujung penamu membawa gejolak perubahan.”

== 0 ==

2 komentar:

  1. Bagus kang... gaya khas tulisan kang itu lebih k curhat ya ternyata. heuheu :D but, lanjutkan!! :)

    BalasHapus
  2. hehe... sebenarnya pengen kembali kepada tulisan saya yg ingin seperti Syaikh 'Aidh Al-Qarni, tp krna tuntutan lomba harus bertema "pengalaman nyata" dan lomba Inspirasi Menulis, makanya nulis dulu curhatan-curhatannya..:D
    semoga ada tulisan selanjutnya yg tak sekadar "curhatan", hehe..:D
    *amien*

    BalasHapus