Kamis, 31 Maret 2011

bijaksana

Masih dalam kisah Sang Raja. Sekarang raja sudah mempunyai putri yang cantik jelita, namun sayang matanya yang sebelah kiri agak juling yang sedikit mengurangi kecantikannya itu. Suatu saat, ia meminta penduduknya yang bisa melukis untuk melukiskan Sang Putri. Ia ingin putrinya itu dilukis secantik rupa, namun pelukisnya harus jujur, ia tak boleh mereka-reka wajah asli sang putri. Maka, dipanggillah pelukis pertama.

Ia melukiskan sang putri apa adanya. Wajahnya yang cantik dan mata kirinya yang agak juling terlihat jelas. Namun, pelukis pertama ini dihukum. Meskipun ia melukis apa adanya, tapi bukan itu yang sang raja harapkan. Ia ingin sang putri terlihat cantik di lukisannya. Maka pelukis pertama pun dihukum gantung, sadis amat ya?hihi…

Datanglah pelukis yang kedua. Dengan yakinnya, ia melukis Sang Putri dengan wajah yang cantik tanpa cela. Tanpa ada mata yang juling dalam lukisannya itu. Namun, lagi-lagi ia dimarahi juga oleh sang raja karena telah berbohong. Pelukis kedua ini telah mereka-reka kecantikan sang putri dengan menghilangkan mata julingnya. Karena dianggap berbohong, maka pelukis kedua ini pun dihukum gantung.. benar-benar sadis nih Rajanya..heuheu… :D

Akhirnya, datanglah pelukis terakhir. Ia mulai melukis Sang Putri dengan tenangnya. Ia berusaha melukis yang terbaik bagi wajah sang putri tanpa melebih-lebihkan kecantikannya dan tanpa mengurangi kecacatan matanya itu yang pecak. Dan akhirnya sang raja senang melihat dan menerima hasil lukisannya itu.

Kenapa Sang Raja menyukai lukisan itu?? Karena pelukis terakhir ini melukis wajah sang putri dari sudut pandang yang berbeda dengan pelukis-pelukis sebelumnya. Jika sebelumnya pelukis melukisnya dari depan, maka pelukis ketiga ini melukisnya dari penggir kanan wajah sang putri yang cantik dan mata kanannya yang tidak juling. Dengan kata lain, ia tidak menampilkan mata kirinya yang agak juling.

Sebagai hadiahnya, maka sang raja pun mengangat pelukis yang bijaksana ini menjadi menantunya.. halah-halah…….. wkwkwk…

==Tamat==
READ MORE - bijaksana

Kamis, 24 Maret 2011

Membedakan Cara Berpikir

Diceritakan suatu hari si sebuah kerajaan. Sang Raja, menyuruh seluruh rakyatnya untuk menyumbang secangkir madu setiap orangnya untuk keperluan membantu penduduk lain yang sedang sakit. Lalu, salah seorang diantara rakyat yang disuruh raja itu berbisik kepada temannya, “sepertinya aku tak punya madu di rumah. Aku akan memasukkan air saja ke dalam wajan-wajan besar itu. Mungkin tidak akan terlihat kalau hanya satu gelas air yang dimasukkan ke dalam wajan yang berisi madu-madu dari saudara kita yang lainnya.” Selanjutnya, orang yang dibisiki pun menjawab, “betul juga kamu. Aku juga akan melakukan hal itu. Karena persediaan madu di rumahku sudah menipis untuk konsumsi keluargaku.”

Pada hari yang telah ditentukan, maka rakyat pun berkumpul di halaman rumah raja untuk memasukkan madu-madunya ke dalam wajan-wajan besar yang telah disiapkan. Sang raja pun berterima kasih kepada seluruh rakyatnya yang menyumbangkan secangkir madunya. Dan rakyat pun ikut senang, kembali kepada aktifitasnya seperti biasa: ada yang pulang, berdagang, berkantor, berwisata, dan lain sebagainya.. halah...

Namun, sesaat setelah bubaran Sang Raja pun kaget. Karena apa yang ada di wajan-wajan bessar itu semuanya adalah air, bukan madu. Lalu raja pun memerintahkan para pengawalnya untuk menyelidiki kasus dan penyebab ini. Dan penyelidikan pun dilakukan.

Setelah penyelidikan selesai, para pengawal melaporkan kepada sang raja penyebabnya. Hal ini terjadi karena semua rakyat mempunyai pikiran yang sama, “tidak apa-apa memasukkan secangkir air diantaranya madu-madu yang dituangkan saudara kita yang lainnya.” setelah mendapat laporan itu, sang raja pun geleng-geleng kepala.

***
Apa hikmahnya ya?
READ MORE - Membedakan Cara Berpikir

Jumat, 18 Maret 2011

Buletin Suara Tarbiyah

Hmmm…. Berbicara mengenai inspirasi menulis, setiap orang mempunyai jalannya sendiri-sendiri. Ada yang melalui training atau seminar motivasi kepenulisan, ada dari temannya yang suka menulis, ada juga karena hobinya menuliskan diary hariannya yang tanpa sadar ia pun bisa menulis. Entah dengan ceritanya ataupun gaya bahasanya dalam diary tersebut.

Awalnya, Ingin Menjadi Seorang Penyiar radio
Bagi saya, hobi menulis itu adalah hobi yang tidak sengaja dan tidak terlalu diniatkan sebelumnya. Waktu SMP dan SMA, saya hobi mendengarkan radio MQFM Bandung. Karena radio tersebut bisa menambah wawasan saya mengenai ilmu-ilmu agama sekaligus ilmu-ilmu umum. Terlebih setiap harinya, siang dan malam ada acara salam-salam pendengar dan request nasyid-nasyid kesukaan saya. Sampai-sampai suatu pagi, saya melihat ujung kabel power supply radio di kamar hangus saking panasnya karena sepanjang hari tidak dicabut-sabut dari sumber lisrik. :)
Hobi menjadi pendengar setia radio MQFM tersebut menjadikan saya bercita-cita ingin menjadi penyiar radio. Menginjak kelas X (satu SMA), MQFM mengadakan event “Reporter Kampus.” Kegiatan itu adalah pelatihan reporter radio kepada siswa SMA dan Mahasiswa. Ini adalah kesempatan saya untuk awal menjadi penyiar di radio yang saya sukai ini. Alhamdulillah, acara ini gratis. Pada pertemuan pertama, saya dan siswa SMA atau mahasiswa lainnya mengikuti pelatihan klasikal sehari penuh. Meliputi tentang tehnik pencarian berita, tehnik wawancara sampai tehnik melaporkan berita dari lapangan untuk diudarakan (disiarkan). Keesokan harinya, kami (peserta pelatihan) diuji secara langsung mengenai tehnik reportasi. Namun sayang, saya gagal dan tidak bisa mengikuti pertemuan berikutnya selama tiga bulan. :(
Tahun berikutnya, MQFM mengadakan Reporter Kampus II. Karena masih penasaran, saya pun kembali mengikutinya lagi. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa menjadi penyiar (atau minimal menjadi reporter) di radio MQFM, Bandung. Dan lagi-lagi saya gagal menjadi Reporter Kampus MQFM.. hikshiks.. Setelah saya merenung dan evaluasi diri, mungkin suara saya kurang pas untuk mengudara di kota Bandung dan sekitarnya. Lebih lanjut, saya berfikir menjadi penyiar MQFM bukan jalan takdir saya. Dan saya menerima dengan ikhlas kejadian itu. Cukuplah menjadi pendengar setianya saja.. :D

Awal Hobi Menulis
Ketika SMA saya aktif berorganisasi di DKM At-Tarbiyah, Rohisnya SMA Negeri 1 Baleendah. Di tengah semester genap kelas X, Pembina kami mengadakan beberapa kagiatan tambahan seperti pembentukan tim nasyid, kursus Bahasa Inggris dan pembelajaran tutor sebaya serta kejurnalistikan dalam bentuk buletin mingguan.
Untuk mengobati kekecewaan saya yang tidak jadi penyiar radio. Saya pun mengikuti kegiatan jurnalistik di media kertas itu. Perbedaannya, jika jurnalistik radio bermedia siaran udara; jika jurnalistik buletin cukup bermedia kertas saja, yang belakang saya tahu media cetak. Karena buletin itu baru pertama terbit, maka saya menjadi angkatan perintis penerbit buletin lokal sekolah saya ini. Oleh karena itu, rapat pertama yang kami adakan membahas tentang penamaan, visi, misi, slogan dan logo buletin itu. Hasilnya, terbentuklah nama “Buletin Suara Tarbiyah.”
Bahasan buletin ini meliputi kajian keagamaan, rublik wawancara dengan guru, sisipan kata-kata mutiara atau motivasi bahkan kolom “Terserah”, kolom dimana para pembaca bisa bersuara di buletin ini. Benar-benar mengasyikkan bisa menerbitkannya.
Proses awal pembuatannya cukup sederhana. Bermodalkan kemampuan menguasai corel draw saja, sudah bisa membuat buletin suara tarbiyah. Namun tetap, sang layouter butuh ketelitian tinggi dan waktu yang cukup lama untuk membuatnya. Bayangkan, untuk membuat satu edisi dari selembar kertas yang dibagi empat halaman bulak-balik itu membutuhkan waktu 5 sampai 6 jam pengerjaan. Mulai dari perancangan desain, penempatan kolom-kolom sampai perapihan dan finishing. Edisi pertama pun terbit, meskipun pencetakanya dalam bentuk fotocopy-an. Masih ingat, waktu itu mencetak 100 exemplar dengan biaya Rp 10.000,- dan langsung disebar ke tiap kelas.

Dakwah bil Qolam
Sungguh, itulah yang menjadi Ruh menulis saya sampai saat ini. Meskipun, sekarang agak bergeser gaya tulisan saya dari reportase ke bentuk cerpen non-fiksi, alias menuliskan pengalaman-pengalaman nyata saya yang sebagian diikutkan dalam event-event lomba di Facebook.
Dalam rentang waktu tiga bulan pertama, BST (red. Buletin Suara Tarbiyah) ini sudah menjadi hal yang selalu dinantikan terbit oleh pembaca setianya, siswa-siswa SMAN 1 Baleendah. Alhamdulillah, segenap Tim Redaksi merasa bahagia karena buletin dengan slogan “Media Dakwah SMAN 1 Baleendah” ini sudah berhasil memikat hati para pembacanya.
Di BST, semua anggota tim redaksi boleh mengisi kolom-kolom yang telah disediakan. Saya pun sudah beberapa kali menulis untuk kolom Menu Utama, Wawancara dan kumpulan kata-kata mutiara. Beberapa judul yang membuat saya ketawa. Salah satu isu yang diangkat saat itu adalah adanya golongan yang menunaikan shalat dengan dua bahasa, Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia atau Jawa. Saya mengangkat isu itu di BST dengan judul “Shalat Billingual”. Pernah juga, membahas tentang nasyid Indonesia yang juga sedang booming-boming-nya dan saya beri judul “Nasyid, ladang dakwah atau ladang mencari penghasilan?”
Karena sudah terbiasa menulis hal-hal seperti di atas, maka dari sana saya menguatkan tekad bahwa tulisan-tulisan yang saya ciptakan setidaknya bisa member ilmu baru bagi orang lain, khususnya tentang wawasan agama; memberikan inspirasi dan manfaat bagi para pembacanya.
Kegiatan menulis saya tidak berhenti sampai disana. Selapas lulus SMA pada tahun 2007, kakak kelas saya menawarkan untuk menjadi wartawan di majalah salah satu Lembaga Amil Zakat di kota Bandung, dengan berbekal latihan, pengalaman kepenulisan dan sedikit ilmu jurnalistik, saya pun diterima menjadi tim redaksi Majalah Zakat Infak Shadaqah dan Wakaf Percikan Iman (ZISWaf - PI), Bandung. Tugas pertama saya adalah melakukan wawancara dengan penerima bantuan modal usaha dari ZISWaf PI. Pengalaman pertama ke lapangan itu cukup membuat hati saya berdebar. Jika sewaktu SMA, saya mewawancarai guru-guru saya yang sebelumnya sudah dikenal, namun sekarang harus mewanacarai orang yang belum saya kenal sebelumnya. Dengan berbekal notebook, pulpen, recorder dan camera digital, saya pun akhirnya dapat menuliskan hasil wawancara tersebut yang isinya lebih banyak tentang harapan para penerima bantuan supaya modalnya bisa ditambah lagi. ZISWaf PI memberikan bantuan kepada 15 orang pedagang kecil di daerah itu. Karena sebelumnya mereka menerima pinjaman modal dari rentenir yang menyiksa mereka dengan bunga pengembalian modal yang berlipat-lipat.
Pada akhirnya, saya sudah terbiasa untuk wawancara atau mencari tahu kabar-kabar dari relasi ZISWaf PI. Dengan menjadi wartwan disana juga, saya yang orang kampung dapat mengetahui hampir semua daerah di Kota dan Kabupaten Bandung. Selain dalam kota, saya pun pernah ditugaskan untuk meliput kegiatan-kegiatan ZISWaf PI yang sekarang menjadi AMANY Percikan Iman di luar kota seperti Cianjur, Bandung Barat, dan Cimahi.
Selain itu, kebiasaan saya membawa camera digital membuat saya akhirnya juga bisa menjadi seorang fotographer amatir. Jadi tugasnya bertambah: wawancara, membuat berita tentang event-event, sekaligus bertugas sesbagai dokumentasi.
Alhamdulillah, pengalaman-pengalaman di atas membawakan saya pada pemahaman bahwa menulis itu adalah salah satau metode yang baik dalam hal mengajak orang pada kebaikan, media informasi yang efektif sekaligus bersifat “abadi” dan luas. Abadi disini artinya bisa diketahui orang kapanpun dan dimanapun. Bandingkan jika hanya sekedar berbicara diforum saja, maka orang-orang yang mengetahuinya hanya yang hadir saja. Tapi jika dituliskan, maka orang yang tidak hadir dalam forum pun akan mengetahuinya dengan membaca. Insya Allah..
Maka, untaian kalimat di bawah inilah yang menjadi penguat saya dalam menulis:
“Aku tidak melihat mata pisau yang lebih tajam melebihi goresan pena seorang penulis. Maka, perhatikanlah ke arah mana ujung penamu membawa gejolak perubahan.”

== 0 ==
READ MORE - Buletin Suara Tarbiyah

Selasa, 15 Maret 2011

di Masjid, Hatiku Terkait

إنما يعمر مساجد الله من آمن بالله واليوم الآخر وأقام الصلاة وآتى الزكاة ولم يخش إلا الله فعسى أولئك أن يكونوا من المهتدين


“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah, ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(Qs. At-Taubah [9] : 18)


***
Ayat di atas mengingatkan kepada seorang guru waktu saya SMA dulu. Sungguh amat berkesan mendengar penjelasan dan tafsir dari ayat ini.

Saya adalah seseorang yang dari kecil sudah terbiasa dengan lingkungan masjid. Sebelum saya mengenyam bangku Sekolah Dasar, saya sudah terbiasa bergabung dengan kakak kelas - kakak kelas yang sudah kelas 4 sampai kelas 6, mengajak saya untuk mengaji di kampung tetangga yang jaraknya sekitar 1,5 km. Untuk mencapainya, diperlukan waktu kurang lebih 15 menit dengan berjalan kaki. Ada dua jalan untuk mencapainya, melewati jalan aspal yang cukup banyak lubang-lubangnya (maklum, Jalan Desa) atau menempuhnya menyusuri pematang sawah yang indah dipandang mata jika masih hijau atau menguning saat menjelang panen. Jadwal pengajian kami di TPA-TQA Al-Hasanah namanya ada dua waktu, jam 7 sampai jam 9 pagi bagi santri-santri yang jadwal sekolah di SD-nya siang atau sebaliknya, jam 4 sampai jam 5.30 sore bagi teman-teman yang sekolahnya pagi.

Sungguh mengesankan ikut pengajian disana. Saya belajar dari 'Iqra 1 (jilid satu), dari mengenal huruf alif, ba', ta, tsa sampai dapat lancar membaca Al-Qur'an karena ikut pengajian TPA-TQA Al-Hasanah ini. Gurunya banyak, sebagian masih muda dan penghafal Al-Qur'an.

Ada sebuah kisah, waktu itu jadwal pengajian dimulai sore hari. Saya dan teman-teman merasakan hal berbeda. Setelah shalat ashar, langit begitu hitam kelam pertanda akan turun hujan yang deras. Berbekal payung dan jas hujan, kami pun memaksakan diri untuk tetap berangkat menuju masjid tempat pengajian. Dan benar saja, di tengah jalan turunlah hujan dan semakin deras. Niat kami pun agak sedikit melenceng. Yang tadinya mau berangkat mengaji, ini malah bermain hujan-hujanan. Lewat pematang sawah lagi, huft. Benar-benar basah kuyup. Sesampainya di masjid, karena tidak ada orang selain kami, maka lantai teras masjid pun jadi untuk dipakai bermain air, seluncuran. Begitulah masa anak-anak, kelakuannya kadang membuat orang tua khawatir J

Berawal dari pengajian di masjid itulah yang menjadikan saya tidak asing terhadap masjid dari kecil sampai sekarang. Saya ingat, Aa Asep dan Teh Elly namanya, pasangan suami istri yang mengajarkan saya membaca Al-Qur'an. Saya juga jadi ingat ada hadits yang mengatakan bahwa barangsiapa yang mengajarkan kebaikan (termasuk membaca Al-Qur'an), maka ia akan mendapat pahala sebagaimana pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala darinya. Jadi, setiap membaca Al-Qur'an, saya selalu teringat atas ketulusan mereka yang mengajarkan saya membaca Al-Qur'an. Kini, setelah saya memasuki usia 20-21 tahun, saya juga bercita-cita ingin menjadi pengajar Al-Qur'an yang pahalanya Insya Allah tak akan putus-putus. Karena satu dan lain hal, memasuki kelas 4 SD, saya memutuskan atau tepatnya diputuskan oleh orang tua untuk pindah mengaji di madrasah TPA-TQA yang lebih dekat. Di kampung sendiri. Alhamdulillah, berbekal bisa membaca Al-Qur’an saya pun mulai beradaptasi dengan lingkungan baru lebih mudah. Karena teman-teman di madrasah tempat pengajian yang baru itu sudah bisa membaca Al-Qur’an semuanya.

Setelah beberapa bulan saya belajar di Madrasah TPA-TQA Al-Hidayah, saya mulai bergabung dengan IRMA (Ikatan Remaja Masjid Al-Hidayah). Para pengurus dan anggotanya cukup jauh perbedaan usianya di atas saya. Bisa jadi, saya-lah orang termuda yang ada disana waktu itu. Kegiatannya cukup banyak, sehingga terus melatih dan membuka wawasan saya tentang Islam, mulai dari sejarah / shiroh Islam, fiqh, belajar tasrif / bahasa Arab dasar. Mengikuti atau menjadi bagian dari panitia tabligh akbar bulanan sampai keliling kampung untuk menghadiri tabligh akbar yang dilaksanakan jauh dari kampung tempat rumah saya berada. Hal ini menjadi hobi baru saya untuk terus dekat dengan lingkungan masjid / madrasah ataupun orang-orang yang suka memakmurkan masjid. Alhamdulillah..

Hikmahnya mah bisa dirasakan ketika saya memasuki SMP dan SMA, di saat disyaratkan untuk bisa membaca Al-Qur’an saya sudah siap sedia. Dalam waktu bersamaan, banyak teman-teman saya yang harus belajar Al-Qur’an dari nol.

Karena sudah merasa terikat dengan masjid, saya juga ikut kegiatan ekstrakurikuler ISMU (Ikatan Siswa Miftahul ‘Ulum) sewaktu memasuki SMPN 1 Baleendah, Kabupaten Bandung. Sebuah organisasi Rohaniawan islam (Rohis) yang di dalamnya terdapat kegiatan belajar membaca dan menerjemahkan Al-Qur’an, belajar tentang Sejarah Nabi, Sahabat dan lain-lain. Pertemuannya dua kali sepekan. Dibimbing oleh seorang instruktur yang cukup sabar dan cerdas berbagi dan membimbing anggota ISMU. Sungguh, semua hal ini yang saya dapatkan di pengajian sebelum saya memasuki bangku SD, di IRMA dan di ISMU menjadi bekal saat ini untuk terus berusaha memakmurkan masjid. Entah dengan cara berusaha tidak terlewatkan shalat wajib berjamaah, ikut pengajiannya, tabigh akbar, kajian tafsir Al-Qur’an, mabit bahkan mengisi kajian untuk remaja, pemuda dan pelajar di lingkungan masjid sampai sekarang.

***

Berlanjut di SMA, saya bergabung dengan ekstrakulikuler DKM At-Tarbiyah, SMA Negeri 1 Baleendah, Kabupaten Bandung. Dari DKM inilah saya mulai serius dan semakin senang dengan hal-hal yang berbau pemuda, organisasi dan kegiatan ke-Masjid-an. Karena sudah terbiasa dari SD sampai SMP, maka sudah menjadi darah daging bagi saya untuk aktif berorganisasi di ekstrakulikuler DKM.

Pertama kali saya ikut kegiatannya adalah sepekan setelah MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik) di SMAN 1 Baleendah pertengahan 2004. Pertemuan pertama itu diisi dengan acara taaruf (perkenalan) organisasi DKM At-Tarbiyah itu sendiri, antara calon anggota kelas X (saya) dengan pengurus kelas XI dan sebagian pengurusnya kelas XII. Kegiatan-kegiatan yang ada disana adalah miniatur dari Habluminallah dan Habluminannas. Ya, begitulah nasihat pembimbing kami, Bapak Firman Fauzan, M. Pd.I.

Beliau menasehati bahwa hidup ini tidak sebatas di SMA selama tiga tahun saja, tapi lebih penting lagi adalah kehidupan setelahnya. Kehidupan setelah kehidupan di SMA itu justru lebih rumit dan beragam, terjun di lingkungan masyarakat.

Contoh kegiatan besar yang mencerminkan kehidupan di masyarakat adalah kegiatan ibadah Idul Qurban. Di SMA Negeri 1 Baleendah setiap tahunnya mengadakan Qurban. Hewan Qurban didapat dari iuran para siswa di setiap kelas. Satu semester sebelum tanggal 10 Dzulhijjah, setiap hari di kelas masing-masing ada petugas pengumpul uang Qurban. Tidak dibatasi minimal atau maksimal berapa rupiah yang harus dikeluarkan para siswa tersebut. Yang penting, pada saatnya dapat membeli minimal satu ekor kambing yang akan diqurbankan. Saat itu harganya berkisar antara Rp 750.000,- sampai dengan Rp 1.500.000,-

Setelah uang tersebut mencukupi supaya dapat pahala Qurban, maka para siswa akan menentukan kepada siapakah hewan ini akan diqurbankan. Karena seperti yang kita ketahui, bahwa hewan qurban hanya untuk satu orang per satu ekor kambing/ dombanya. Biasanya, kami menginfaqkan uang Qurban yang dikumpulkan sekelas itu kepada wali kelas atau ketua murid masing-masing kelasnya. Tak sampai disana, setelah ada hewan qurban, kami dilatih untuk bisa menyelenggarakan shalat ied qurban di sekolah yang dilanjutkan dengan penyembelihan hewan qurban oleh perwakilan tiap kelasnya.

“Sebenarnya kita bisa saja membeli beberapa ekor sapi, tapi kenapa kita memilih kambing? Agar siswa berpengalaman dalam menyembelih hewan qurban saat terjun ke masyarakat nanti.” ujar Pak Firman. Dan saya pun pernah menyembelih hewan qurban itu lho. B-)

Pada waktu saya di SMA dulu (2004-2007), tiap Idul Qurban tak kurang dari 15-20 ekor kambing/ domba yang disembelih. Saat itu tidak semua kelas bisa mencapai satu ekor kambing dalam pengumpulan iuran qurbannya. Namun dua tahun terakhir (2009-2010), jumlah hewan qurban mencapai 25-36 ekor kambing karena tiap kelasnya sudah mampu membeli satu ekor kambing ditambah qurban dari guru-gurunya, 36 kelas di SMAN 1 Baleendah, Kab. Bandung ini.

Selain pelaksanaan Idul Qurban, di sekolah kami pun sering mengadakan tabligh akbar yang diselenggarakan tiga kali setiap tahunnya. Dalam rangka menyambut bulan Ramadhan, sebelum libur UAS dan sebelum kenaikan kelas atau pada saat dibagi raport. Biasanya saya yang ditunjuk sebagai pembawa acara dalam acara akbar rutin kami tersebut.

Dua acara besar itu adalah agenda insidental (agenda besar tahunan). Adapun agenda pekanannya berupa belajar tahsin dan kajian tiap hari rabu bersama Bapak Firman Fauzan, M. Pd.I. Biasanya membahas tentang tafsir Al-Qur'an, shirah Nabawiyyah, fiqh dan lain-lain.

Saat memasuki kelas XI, Bapak Firman Fauzan, M. Pd.I. Berinisiatif mengadakan kegiatan baru yang dapat mengembangkan potensi para anggota dan pengurus DKM At-Tarbiyah ini. Ada empat kegiatan yang bisa dipilih oleh setiap anggota. Ada BST (Buletin Suara Tarbiyah), TNT (Tim Nasyid Tarbiyah), kursus bahasa Inggris serta Qira'at (belajar seni membaca Al-Qur'an yang indah).

Karena saya suka dunia jurnalistik, saya memilih ikut membuat Buletin Suara Tarbiyah (BST) yang terbit tiap hari Jumat. Membahas isu-isu yang berkembang saat itu, serta bahasan-bahasan yang menarik bagi siswa-siswi dan para guru di SMA kami. Banyak sekali pengalaman jurnalistik yang saya dapatkan ketika bergabung di BST, sampai saat ini saya mengetahui dan mengaplikasikan dunia jurnalistik dan kepenulisan salah satunya dari BST.

Hampir tiga tahun saya menjadi bagian dari DKM At-Tarbiyah. Dua tahun diantaranya (kelas XI dan XII), saya dan teman-teman seangkatan menjadi pengurusnya, yang punya tanggung jawab moral untuk memakmurkan masjid di SMA kami.

Sekarang, hampir empat tahun setelah lulus SMA, saya aktif di sebuah LSM yang berkonsentraasi pada pembinaan pelajar SD sampai SMA dan Remaja Masjid se-Kecamatan Baleendah. LSM INSPIRASI namanya, di LSM ini saya dapat mengembangkan ilmu-ilmu yang didapat saat SMA. Mulai dari keorganisasian, kaderisasi, pembinaan pelajar bahkan ilmu jurnalistiknya. Karena LSM ini pun mempunyai buletin bulanan bagi pelajar SMP-SMA se-Baleendah.

Benar apa kata Bapak Firman tadi bahwa kehidupan di masyarakat adalah kehidupan yang sebenarnya. Sedangkan di sekolah hanya pembelajaran saja.

Oleh karena itu, saya mendapatkan hikmah yang banyak sekali. Banyak perasaan senang dan tenang bisa bersama dengan teman-teman untuk memakmurkan masjid, berorganisasi dan menjalin Ukhuwah (persaudaraan) Islami yang sampai saat ini tidak terputus meskipun kami berbeda aktifitas. Ada yang masih kuliah, bekerja dan beberapa ada yang sudah menikah. Ada juga yang sudah di luar kota Bandung.

Seseorang termotivasi atas kesukaan terhadap aktifitasnya salah satu penyebabnya karena mengetahui dalil dan manfaat apa yang akan didapat. Dengan ayat 18 Al-Qur'an surat At-Taubah [9] tersebut sudah cukup bagi saya untuk tetap senang dengan lingkungan masjid. Karena kebahagiaan yang didapatkan tidak hanya untuk kehidupan dunia saja, namun kebahagiaan dan ketenangan di akhirat pun akan didapatkan, Insya Allah.. :)

Ada juga hadits qudsi yang menerangkan bahwa suatu hari Allah swt. Akan menaungi tujuh golongan hamba-hambaNya di saat tidak ada lagi naungan selain naungan dari-Nya, salah satunya seseorang pemuda yang hatinya terkait dengan masjid.

Ada satu kisah lain juga yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. Pernah berkunjung pada sebuah masjid di sebuah desa di jazirah Arab. Pada saat itu Nabi menanyakan salah satu pengurus masjidnya yang dikenal Nabi saw. Pendukuk disana memberi tahu bahwa pengurus masjid tersebut sudah meninggal dunia. Nabi pun meminta untuk diantarkan ke kuburannya, lalu Nabi saw. men-shalat-kan orang tersebut. Selain menjadi dasar hukum dibolehkannya shalat mayit di kuburan, hal ini juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. Sangat menghormati, menyanjung tinggi dan menghargai para pengurus (red. Pemakmur) Rumah Allah. Hal ini membuat saya makin termotivasi untuk selalu dekat dengan masjid.

*Di Masjid, Hatiku Terkait... :)*


Note: ** dedikasi untuk para guru mengaji saya, guru-guru SD sampai SMA dan untuk teman-teman seperjuangan di ISMU SMPN 1 Baleendah serta di DKM At-Tarbiyah, SMA Negeri 1 Baleendah, Kab. Bandung angkatan 2007.



rumah penulis – Baleendah, 09 maret 2011/ 04 Rabiul Akhir 1432 H.
READ MORE - di Masjid, Hatiku Terkait