Jumat, 14 Januari 2011

CLBK-(Cerita) Cinta Lama Bersemi Kembali

~Apel Tsabit bin Ibrahim~

Suatu hari, seorang sholeh Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kuffah. Ia menyusuri sungai di sepanjang jalan tersebut. Rasa lelah, lapar dan haus sudah menghinggapinya setelah perjalanan jauh. Tiba-tiba, matanya tajam tertuju melihat sebuah apel merah yang hanyut terbawa sungai. Gayung pun bersambut, (halah, kayak ketemu jodohnya ya?hehe..), ia berusaha untuk mengambilnya. Butuh pengorbanan untuk mendapatkan sesuatu yang berharga. (Catet Barudak!).

Saking haus dan laparnya, ia pun melahapnya hingga habis. Setelah merasa kenyang, ia baru sadar. “Astaghfirullah, ini bukan apel saya.” Ujarnya. Lalu, ia pun berbalik arah berjalan di pinggir, melawan arus sungai itu menuju hulunya. Berusaha menemukan pohon atau kebun apel (ya iya lah yang dicari pohon apel, masa pohon ketimun. Wong yang dimakannya juga apel, betul kan?) tempat dimana apel itu jatuh. Setelah beberapa lama, Tsabit akhirnya menemukan pohon apel yang dimaksud. Tak jauh dari sana, ia bertemu dengan seseorang. “Assalamualaikum, maaf Pak. Apakah betul ini pohon apel milik Bapak?” tanyanya pada orang yang ditemuinya. “Waalaikumsalam warahmatullah. Maaf Gan (Agan), saya bukan pemilik pohon apel ini. Saya hanya khadamnya (Pembantu, red.) Coba aja ke rumahnya Gan.” Jawab sang tukang kebun. “Jangan panggil saya Agan, nama saya Tsabit bin Ibrahim.” Tukas Tsabit yang tidak mau dipanggil Agan – yang ini Cuma rekaan penulis – wkwkwk.

“Kira-kira, berapa jauh rumahnya dari sini?” Tanya kembali Tsabit bin Ibrahim kepada Tukang Kebun. “Wah, perjalanannya jauh, mungkin bisa satu hari satu malam ditempuhnya Wahai Saudaraku.” Jawab tukang kebun yang sesekali membersihkan kebun yang dijaganya dari daun-daun yang berguguran.

Karena jiwa tanggung jawab Tsabit bin Ibrahim ini tinggi, maka ia bergegas untuk menemui Sang Pemilik Pohon Apel. Meski perjalanan menujunya harus ia tempuh dengan sangat jauh. Sembari pamitan, ia berujar pada tukang kebun itu, “Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : ‘Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka.’”

Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, akhirnya Tsabit bin Ibrahim pun bertemu dengan pemilik pohon apel tersebut. Sesampainya di depan rumah, Tsabit mengetuk pintunya. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata, “Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu sudikah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?”

Lelaki tua yang ada di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat."

Tsabit pun kaget mendengar perkataan itu. Tapi, ia bertekad untuk bertanggung jawab dan menghalalkan apel yang dimakannya. “Syarat apa yang harus saya lakukan Tuan?” tanya Tsabit.

Dengan tegas, Tuan pemilik pohon itu menjawab, “Engkai harus menikahi putriku!!”

“APA??” Tsabit bin Ibrahim masih belum memahami maksud dan tujuan lelaki yang ada di hadapannya. Lalu ia berkata, “Apakah karena hanya aku memakan apelmu yang jatuh ke sungai dari kebunmu, aku harus menikahi putrimu?”

Tetapi Sang Tuan tidak menggubris apa yang ditanyakannya. Bahkan ia menambahkan, “Sebelum pernikahan dimulai, engkau harus mengetahui kekurangan-kekurangan calon istrimu itu. Dia seorang yang buta, bisu dan tuli. Lebih dari itu, ia juga seorang gadis yang lumpuh!!”

Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan semacam itu patut dia persunting sebagai isteri gara-gara ia memakan buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan!”

Dengan tekad yang kuat untuk menghalalkan buah apelnya itu. Akhirnya Tsabit pun menjawab dengan mantap, “Baik, Aku akan menerima pinangannya dan perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul Alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Taala”.

Maka pernikahanpun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, "Assalamualaikum..."

Tak dinyana sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi menjadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.

Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. "Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula", kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya ?

Setelah Tsabit duduk disamping istrinya, dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa ?

Wanita itu kemudian berkata, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah".

Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?"

Wanita itu menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?" tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya.

Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, "aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya mengunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Taala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Taala".

Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan wanita yang akan memelihara dirinya dan melindungi hak-haknya sebagai suami dengan baik. Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, "Ketika kulihat wajahnya Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap".

Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik rupawan itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Numan bin Tsabit.

Sumber : http://www.suaramedia.com/sejarah/sejarah-islam/31297-kisah-tsabit-bin-ibrahim-dan-apel-merah-pembawa-berkah.html dengan editing selucunya.. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar