“Kring..kring…”, sore itu handphone saya berbunyi tanda ada sms masuk. Setelah saya lihat dan saya baca, ternyata ada sms dari Dyah (bukan nama samara, bukan juga korban kekerasan keluarga) -seorang teman di facebook yang usianya lebih muda dari saya, sehingga dia manggil saya dengan sebutan Kakak. Isinya kurang lebih seperti ini: “Kak, ntar jam17 Dyah ada rapat penting.. semoga gak pada ngaret temen-temennya.” Saya pun menjawabnya, “yo wis, silahkan... semoga teman2nya gak pada ngaret.. Amien”
Dyah Tri Kusuma Dewi, ia adalah seorang perantau dari Jepara yang sedang kuliah di STIKES Muhammadiyah, Yogyakarta. Saya mengenalnya di dunia jejaring sosial, facebook. Memang, jika ada teman facebook yang membuat saya ingin lebih kenal dan sharring dengannya, saya suka meminta nomor kontak atau YM!-nya. Terlebih pada teman-teman yang mempunyai keahlian khusus, seperti seorang penulis dan fotographer yang sesuai dengan minat saya. Selain itu, saya suka dengan orang-orang yang merantau. Salah satunya, Mbak Dyah ini.
Kembali ke laptop!! Nah, menjelang jam 17.15, dyah mengirim SMS lagi ke saya bahwa belum ada satupun undangan yang hadir. Padahal sebelumnya ia mengira bahwa ia akan terlambat datang. Saya membalas sms itu dengan kalimat, “sabar saja, mungkin jam mereka disetting Waktu Indonesia Bagian Ngaret,..hehe..”
Akhirnya Dyah pun jadi mengikuti rapat, meskipun dimulainya telat. Imbasnya, jam pulangnya pun menjadi terlambat. Yang harusnya jam 20.00 sudah beres, tapi selesainya jam 21.00 WIB. Ngaret satu jam dari rencana.
Setelah selesai rapat, Dyah pun bergegas ke parkiran. Ternyata, helm yang disimpan di motornya sudah raib. “Kak, helm Dyah raib, biasanya disini aman-aman saja.” Isi sms-nya sekitar jam 21.10. saya jawab, “Ya, lain kali mah digantung di motor sambil di kaitkan di box motor, supaya gak kecolongan lagi.” Dyah pun harus menanggung resikonya: membeli helm baru, padahal keuangan yang dimilikinya tidak menganggarkan untuk membeli hal-hal semacam ini.
Malam pun larut. Dyah mencoba untuk istirahat dan menghilangkan pikiran tentang musibah yang sudah menimpanya tadi.
Keesokan harinya, tepatnya sekitar jam 13.00. Dyah pun kembali mengirim sms yang membuat saya kaget, “Kak, Dyah hampir maut, meninggal. Dyah jatuh dari motor. Tabrakan di tikungan jalan.” Saya pun membalasnya, “Masya Allah, kenapa bisa gitu? Gimana kronologinya??”
Dyah pun menceritakan kronologis kejadiannya lewat sms. “Gini Kak, Dyah itu lagi perjalanan pulang. Habis beli helm yang baru. Sesampainya di sebuah tikungan, Dyah nda lihat arah dari depan, tiba-tiba ada motor juga. Saat itu, kami tidak sempat salingmelihat kea rah depan. Akhirnya Dyah pun jatuh dari motor karena ditabrak dari arah depan.” Ujarnya.
“Kacamata Dyah pun pecah. Yang tersisa Cuma bingkainya, kacanya entah kemana. Rugi modal 100%. Pelipis Dyah harus dijahit, karena terkena pecahan kacamata yang pecah itu.” Lanjut Dyah. “Ya, mungkin ini musibah yang khusus dari Allah swt. untuk Dyah, Kak. Helm yang baru saja dibeli udah lecet lagi. Padahal Dyah udah hati-hati Kak..” tambahnya.
Tak sampai disana, Dyah harus menjalani pengobatan di PKU Muhammadiyah Yojyakarta, karena pelipis yang terkena pecahan kaca itu harus mendapat satu jahitan. Sesuai dengan kesepakatan, Dyah pun membagi mengatasi kerugian yang ada. Dyah bersedia untuk membeli obat-obatannya, karena ia mempunyai askes. Sedangkan bapak-bapak yang menabraknya membiayai perawatan/ jahitan pelipis mbak Dyah ini. Entah siapa yang salah, kahir-akhirnya Dyah pun berurusan dengan polisi karena kasusnya ini. SIM dan STNK motornya harus ditahan. Polisi, yang menurut Dyah ternyata tetangganya di sekitar asramanya ini berpesan supaya lebih hati-hati. “Kecelakaan yang terjadi itu disebabkan karena sebuah pelanggaran.” Ucap Polisi.
Dari cerita di atas, saya menangkap banyak hikmah pada kejadian ini. Saya teringat ungkapan Allah dalam Al-Qur’an bahwa, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Qs. Al-‘Ankabut [29]: 2)
Seperti seorang siswa SD yang akan naik kelas. Maka, ia pun pasti akan menghadapi Ujian Naik Kelas, untuk mengetahui apakah ia berhak naik ke kelas yang lebih tinggi atau mengulang lagi di kelas yang sama tingkatannya. Kalau ia bisa menjawab semua ujian itu dengan benar dan baik, sebuah keniscayaan bahwa ia dipastikan naik kelas. Kalau sebaliknya, berarti ia harus menjalani (baca: mengulang) lagi pelajaran-pelajaran yang dipelajari di kelas yang sama.
Semoga peristiwa yang menimpa Mbak Dyah juga sama. Kejadian tersebut sengaja Allah takdirkan agar Mbak Dyah naik kelas dalam hal keimanan dan ketaannya kepada Allah Swt. Amien..:D
Dyah pun mengambil banyak hikmah dari berubi-tubi peristiwa-peristiwa yang menimpanya. Dyah bisa memanfaatkan kartu askes yang dimilkinya, yang sudah hampir tujuh tahun tidak dipakanya. Supanya tidak mubazir katanya..
Dyah juga berpesan untuk teman-teman dan dirinya sendiri untuk lebih hati-hati dalam menyimpan barang yang penting, dalam hal ini hlem. Jangan sembarangan menyimpan helm, kalaupun mau disimpan di motor, harus dikaitkan ke boxnya. Harus bisa memakai helm yang benar, jangan asal pasnag di kepala karena kalau tidak pas, akan berbahaya. Saling tolong-menolong, dan jangan melalaikan shalat atau ibadah-ibadah kita kepada Allah Swt. Karena mungkin, ini caraNya dalam mengingatkan supaya lebih taat kepada perintah-perintahNya… inilah kejadian “sudah jatuh, tertimpa durian runtuh.”
Jadi, jangan gampang untuk su’udzan dulu, berburuk sangka kepada Allah atas apa yang ditakdirkannya dan terjadi menimpa kita yang menurut kita tidak meng-enakkan. Dalam Al-Quran, Allah berfirman: “…… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah [2]; 216)
Justru dengan ujian-ujian yang Allah berikan, Allah sedang memberikan kita kesempatan untuk melaksanakan Ujian Kenaikan Kelas Iman dan tqwa kita. Insya Allah…
Wallahu a’lam…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar